Keteguhan Hati
Hasna menatap Ringgo. Langsung ke matanya.
Baru kali ini dia menatap mata cowok setelah sekian lama. Dia cari aura
bercanda disana. Tidak ada.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya Hasna
sekali lagi untuk memastikan.
“Gue tantang loe buat buka jilbab.”
Kata Ringgo dengan penuh penekanan disetiap katanya. Salah satu alisnya naik.
“Kenapa aku aku harus menuruti
kata-katamu?” tanya Hasna.
“Karena....” Ringgo mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. Selembar surat. “..ini.” katanya dengan sepenuh hati.
“Foto?” Hasna memincingkan matanya.
“Ya, fotomu setahun yang lalu.
Disaat nama panggilanmu masih Vehasy, si cantik yang tak beraturan.” kata
Ringgo dengan nada melecehkan.
Hasna memejamkan matanya. Pikirannya
mengingat kejadian-kejadian tahun lalu. Lalu, tak lama kemudian dia membuka
matanya. Dan sebuah senyuman terukir dibibirnya.
“Foto itu? Mau kamu apakan memangnya?”, tanya
Hasna.
“Loe nggak mau kan kalo foto ini
jatuh ke tangan yang salah, seperti
Mesya yang menjadi saingan loe dalam pemilihan ketua OSIS nanti.” Kata
Ringgo dengan tatapan penuh arti.
“Serahkan saja”, kata Hasna santai.
Ringgo menatap tak percaya pada
Hasna. Karena menurutnya seharusnya Hasna menuruti apa yang diperintahkannya.
Bukan sebodo teuing.
“Loe nggak takut? Ini bisa berpengaruh
sama pemilihan OSIS nanti loh!” kata Ringgo.
“Biarkan aja itu tersebar. Toh yang
menentukan pada akhirnya tetap siswa dan siswi SMA Adriokasy. Mau seperti apa
ketua yang akan memimpin mereka.” kata Hasna dengan penuh percaya diri.
“Yakin?” tanya Ringgo memastikan.
“Seyakin-yakinnya.” kata Hasna.
Ringgo masih berkutat dengan pikiran
dikepalanya.
“Masih ada yang mau dibicarakan?
Kalau tidak, aku pergi dulu. Ada yang harus aku kerjakan.” Kata Hasna.
Hasna langsung berjalan meninggalkan
Ringgo. Setelah beberapa langkah, Hasna membalikkan badannya ke arah Ringgo.
“Kalo lain kali yang kamu bicarakan
sama aku adalah hal-hal yang kayak begini. Lebih baik kamu menyiapkan diri,
belum tentu di masa depan nanti aku bisa sesabar ini.” Kata Hasna dengan pandangan
yang tidak bisa diartikan.
Ringgo melongo mendengar kata-kata
Hasna. Dia tahu, Hasna tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
Hasna duduk sambil menatap halaman
belakang rumahnya. Halaman belakang rumahnya lumayan asri. Banyak rerumputan, pohon
buah-buahan, bebungaan, dan sebuah kolam kecil yang berisi ikan. Pandangan
Hasna memang menghadap halaman belakang. Tapi pikirannya melayang pada kejadian
tadi siang di sekolah bersama Ringgo.
“Buka jilbab??” gumamnya.
Lalu pikirannya melayang pada
kejadian setahun yang lalu....
Pintu rumah yang begitu besar
ditendangnya. Raut wajah Vehasy Narinda menyiratkan kemarahan yang penuh.
Dipandangnya sekeliling ruang tamu. Kosong melompong.
“Bibi !!!!!!!!” teriak Vehasy.
Seorang ibu yang sudah berumur berlari
dengan tergopoh-gopoh menghampiri Vehasy.
“Ada apa, Non?” tanya Bi Kas.
“Kok nggak ada yang bukain pintu
sih, dibel berkali-kali juga.” Kata Vehasy.
“Maaf, Non. Tadi Bibi lagi masak
jadi nggak denger bunyi bel.” Kata Bi Kas.
“Iya, tapi sadar diri dong..” kata
Vehasy.
“Maaf, Non.” Kata Bi Kas.
Vehasy menghembuskan napas dengan
perasaan sebal. Dia langsung berjalan meninggalkan Bi Kas untuk menuju kamarnya
yang di lantai 2. Dia langsung membanting tasnya. Dia mengancak pinggang.
Matanya memutar yang menunjukkan bahwa dia sedang sebal dicampur marah.
“Nantangin gue buat mabok?? Nggak
mikir apa dia. Dasar Mesya!!” kata Vehasy.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Vehasy mengambilnya, lalu menekan tanda hijau dan mendekatkan ponsel tersebut
ke telinganya.
“Ngapain loe nelpon gue?” tanyanya
dengan nada menghadrik.
“Santai aja kali.. gue cuma mau
memperjelas aja. Loe bisa kan nerima tantangan gue??” kata Mesya dengan
nada mengejek dari seberang sana.
Emosi Vehasy langsung naik. Dia
memang paling nggak suka kalau dikalahin, apalagi oleh Mesya. Musuh
bebuyutannya dari SD kelas 3.
“Ok! Gue terima tantangan loe. Tapi
inget janji loe ya, jangan pernah gangguin gue lagi.” kata Vehasy.
“Tergantung.” kata Mesya.
“Dimana tempatnya?” tanya Vehasy.
“Di tempat yang biasa buat
nge-track bocah-bocah. Loe tau kan?” kata Mesya dengan nada mengejek yang
sama.
“Tau lah, gue kan anak situ juga.
Nggak inget loe ya?!” kata Vehasy dengan nada tinggi.
“Kali aja loe lupa, hihihihihi..
Udah ah, tutup ya..” kata Mesya. Tanpa babibu lagi, telpon langsung
ditutup.
“Gila!! ngasih info kok nggak jelas.
Jamnya aja nggak dikasih tau.” kata Vehasy. Tapi dia mengerti, pasti jam
sepuluh malam. Mana ada orang mau mabok pagi-pagi.
Vehasy langsung mandi dan menyiapkan
diri. Pakaian favoritnya yang berupa celana jins dan kaos oblong terpasang di
tubuhnya lima belas menit kemudian. Beberapa saat sebelum keluar dari kamarnya,
Vehasy terpaku pada sebuah foto yang terfigura dengan baik di meja belajarnya.
Vehasy mendekatinya, lau meraih foto tersebut. Di foto itu terdapat seorang
perempuan yang cantik dengan jilbab ungunya yang lembut dan tertiup angin
sepoi-sepoi, sehingga bertebangan denga anggunnya.
“Semoga hidup loe tenang disana,
Kak. Maaf gue belum bisa memenuhi permintaan loe untuk memakai jilbab kayak loe.”
kata Vehasy. Dia meletakkan kembali foto tersebut di atas meja.
Vehasy langsung pergi ke tempat
pertemuan tanpa ijin kesiapapun dengan motor balapnya. Kalaupun mau ijin, harus
ijin kesiapa. Tak ada orang tua di rumah. Semuanya sibuk kerja tanpa
memperdulikan dirinya. Ijin ke Bi Kas pun percuma. Tak ada gunanya.
Jam ditangan Vehasy sudah
menunjukkan pukul sepuluh. Mesya dan gengnya belum tiba.
“Hasy, loe nggak ikut nge-track?”
tanya seorang temannya.
“Nggak dulu deh, gue ada perlu ama orang.
Loe nge-track aja ama yang lain.” Kata Vehasy.
“Ok.” Kata temannya tersebut.
Beberapa saat setelah teman Vehasy pergi,
datanglah lima mobil BMW dengan berbarengan. Kalau orang lain lihat, pasti ada
yang ngira bakal ada pawai mobil. Vehasy yang melihatnya cuma bisa
geleng-geleng kepala.
“Kebiasaan telat loe ya?” sindir Vehasy
sambil menyilangkan tangan didada.
“Pahlawan kan suka dateng kesiangan.” Kata
Mesya dengan santai. Teman-temannya yang jumlahnya hampir menyentuh jumlah
seratus, kali ini hanya dibawa sekitar dua puluh orang. Seratus itu yang
terdaftar sebagai gengnya. Kalau yang ngantri jadi budaknya, bejibun.
“Cuma bawa dikit nie ye..” kata Vehasy.
“Kurang banyak toh.. bisa gue panggil.”
Kata Mesya.
“Mana tangan kanan loe, si Ringgo
Agustian?” tanya Vehasy.
“Ada dong, tuh dipaling belakang. “ kata
Mesya dengan sedikit hendikkan kepalanya ke belakang.
Ringgo yang dimaksud langsung keluar dari
barisan. Senyum yang bisa membius hati cewek di keluarkannya. Tapi Vehasy tidak
peduli.
“Mana minumannya?” tanya Vehasy.
“Eits, jangan langsung minum dong. Kita
buat peraturannya. Siapa yang minum paling banyak, dia yang menang. Dan
hadiahnya, yang menang bakal berkuasa di SMA Adriokasy. Gimana? Menarik kan?”
kata Mesya.
“Ok!” kata Vehasy.
Ringgo dan teman-teman Mesya yang lain
menyiapkan minuman kerasnya. Vehasy dan Mesya berdiri berhadapan di sebuah
meja. Berbotol-botol minuman sudah siap di depan mereka. Dengan hitungan dari
Ringgo, mereka berdua minum minuma tersebut langsung dari botolnya. Ketika
Vehasy fokus minum, Mesya memberi kode kepada Ringgo. Ringgo langsung paham.
Dia menyiapkan kamera ponselnya dan membidik gambar Vehasy yang sedang minum.
Selesai mengambil gambar, Ringgo memberi kode pada Mesya.
“Masih kuat?” tanya Mesya dengan senyum
khasnya.
“Kenapa loe nanya kayak gitu, nggak kuat
ya...??” tanya Vehasy dengan nada mengejek. Bau minuman keras begitu kental
tercium dari mulutnya. Padahal belum ada satu botol yang dia minum.
Mesya menyeringai.
Tiba-tiba seseorang menyeruak ke tengah-tengah.
Raut wajahnya begitu khawatir. Kontan semuanya memperhatikan orang itu.
“Aaa..Adaa.. ada polisi.” katanya sambil
ngos-ngosan.
“Hah?!” semuanya panik. Mesya melirik
Ringgo. Ringgo menghendikkan bahunya.
“Kabur!” kata Mesya.
Semua teman-teman Mesya langsung mobil dan
meninggalkan Vehasy begitu saja. Vehasy yang mendengar berita itu, kontan panik
juga. Dia berusaha lari, tapi kepalanya begitu pusing. Dia berlari meninggalkan tempat pertemuan.
Tanpa sadar, dua orang polisi mengejar dibelakangnya. Motor balapnya dia
tinggal begitu saja di tempat tadi. Vehasy begitu ketakutan. Dia memang anak
bandel, tapi tidak pernah berurusan dengan polisi.
Vehasy berlari memasuki kawasan perumahan.
Untungnya perumahan itu tidak begitu rapi dan masih banyak unsur pedesaannya.
Polisi yang mengejar dibelakangnya agak kesulitan mengejarnya. Vehasy merasa
sedikit aman, tapi staminanya sudah berkurang banyak. Dia tidak mungkin terus
berlari. Dia harus bersembunyi. Tapi disekitar tempat dia berlari tidak ada
tempat yang aman. Dan sialnya, dia malah memasuki tempat jemuran suatu rumah.
Dia bingung, dan telinganya mendengar derap lari yang semakin kencang. Vehasy
panik. Tiba-tiba di otaknya muncul sebuah ide. Dia mengambil baju gamis yang
kebetulan masih tergantung di jemuran tersebut, lalu memakainya. Dia juga
mengambil sebuah jilbab langsung yang lebar dan langsung memakainya. Dia
berkumur dengan air keran yang kebetulan juga ada di tempat itu. Vehasy
merapikan sedikit dandanannya, lalu menarik nafas panjang dan melatih senyuman yang
agak berbeda dari biasanya. Karena biasanya dia menyeringai.
Dua orang polisi itu datang menghampirinya.
“Selamat malam, Bu. Kami dari kepolisian.
Adakah seorang remaja yang berlari kearah sini?” tanya polisi yang badannya
sedikit besar.
“Remaja??Aduh.. maaf sekali saya tidak melihatnya. Saya baru
saja keluar dari rumah karena lupa mengambil jemuran.” Kata Vehasy dengan nada
yang sering dipakai oleh Bi Kas. Tangannya mengambil pakaian-pakaian yang masih
bergelantungan.
“Owh, kalau begitu, kami permisi dulu.
Terima kasih sebelumnya.” Kata polisi tersebut. Vehasy
Sepergian polisi tersebut, Vehasy menghela
nafas lega. Dia tak menyangka bahwa dia akan lolos dari polisi-polisi tersebut.
Dia melepas gamis dan jilbabnya dan meletakkannya sesuai dengan tempat sebelum
dia ambil tadi. Lalu dia berjalan pulang, tanpa memperdulikan motor dan tasnya
y6ang dia tinggal di tempat nge-track tadi..
...
Seekor kupu-kupu menyadarkannya. Dia tersadar,
lalu tersenyum dan membiarkan kupu-kupu tersebut terbang. Dia menghela nafas.
Hasna ingat, semenjak itu, dia merubah kebiasaaanya. Dia mulai memakai jilbab
dan menjaga akhlaknya, yang biasanya selalu seenaknya sendiri, dan dia merubah
nama panggilanya, dari Vehasy menjadi Hasna. Karena nama Vehasy hanya
mengingatkan dia pada masa lalunya. Dia mulai rajin mengikuti kegiatan-kegiatan
Rohis di sekolah. Walaupun dia juga aktif di kegiatan eskul lainnya.
“Aku mungkin bukan orang yang baik. Tapi
yang dapat aku pastikan, aku tidak akan
melepas jilbab ini.” kata Hasna dengan sepenuh hati sambil memandangi jilbab
yang dia pakai.
Setelah bertemu dengan Hasna, Ringgo pergi
menemui Mesya.
“Gimana? Berhasil?” tanya Mesya dengan
salah satu alisnya naik.
“Bener kata loe, Mesy. Dia udah berubah.”
Kata Ringgo. Mesya cuma bisa menertawai Ringgo.