Rabu, 09 Januari 2013


Keteguhan Hati
Hasna menatap Ringgo. Langsung ke matanya. Baru kali ini dia menatap mata cowok setelah sekian lama. Dia cari aura bercanda disana. Tidak ada.
            “Kamu bilang apa tadi?” tanya Hasna sekali lagi untuk memastikan.
            “Gue tantang loe buat buka jilbab.” Kata Ringgo dengan penuh penekanan disetiap katanya. Salah satu alisnya naik.
            “Kenapa aku aku harus menuruti kata-katamu?” tanya Hasna.
            “Karena....” Ringgo mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Selembar surat. “..ini.” katanya dengan sepenuh hati.
            “Foto?” Hasna memincingkan matanya.
            “Ya, fotomu setahun yang lalu. Disaat nama panggilanmu masih Vehasy, si cantik yang tak beraturan.” kata Ringgo dengan nada melecehkan.
            Hasna memejamkan matanya. Pikirannya mengingat kejadian-kejadian tahun lalu. Lalu, tak lama kemudian dia membuka matanya. Dan sebuah senyuman terukir dibibirnya.
            “Foto  itu? Mau kamu apakan memangnya?”, tanya Hasna.
            “Loe nggak mau kan kalo foto ini jatuh ke tangan yang salah, seperti  Mesya yang menjadi saingan loe dalam pemilihan ketua OSIS nanti.” Kata Ringgo dengan tatapan penuh arti.
            “Serahkan saja”, kata Hasna santai.
            Ringgo menatap tak percaya pada Hasna. Karena menurutnya seharusnya Hasna menuruti apa yang diperintahkannya. Bukan sebodo teuing.
            “Loe nggak takut? Ini bisa berpengaruh sama pemilihan OSIS nanti loh!” kata Ringgo.
            “Biarkan aja itu tersebar. Toh yang menentukan pada akhirnya tetap siswa dan siswi SMA Adriokasy. Mau seperti apa ketua yang akan memimpin mereka.” kata Hasna dengan penuh percaya diri.
            “Yakin?” tanya Ringgo memastikan.
            “Seyakin-yakinnya.” kata Hasna.
            Ringgo masih berkutat dengan pikiran dikepalanya.
            “Masih ada yang mau dibicarakan? Kalau tidak, aku pergi dulu. Ada yang harus aku kerjakan.” Kata Hasna.
            Hasna langsung berjalan meninggalkan Ringgo. Setelah beberapa langkah, Hasna membalikkan badannya ke arah Ringgo.
            “Kalo lain kali yang kamu bicarakan sama aku adalah hal-hal yang kayak begini. Lebih baik kamu menyiapkan diri, belum tentu di masa depan nanti aku bisa sesabar ini.” Kata Hasna dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
            Ringgo melongo mendengar kata-kata Hasna. Dia tahu, Hasna tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
                                                           
            Hasna duduk sambil menatap halaman belakang rumahnya. Halaman belakang rumahnya lumayan asri. Banyak rerumputan, pohon buah-buahan, bebungaan, dan sebuah kolam kecil yang berisi ikan. Pandangan Hasna memang menghadap halaman belakang. Tapi pikirannya melayang pada kejadian tadi siang di sekolah bersama Ringgo.
            “Buka jilbab??” gumamnya.
            Lalu pikirannya melayang pada kejadian setahun yang lalu....

            Pintu rumah yang begitu besar ditendangnya. Raut wajah Vehasy Narinda menyiratkan kemarahan yang penuh. Dipandangnya sekeliling ruang tamu. Kosong melompong.
            “Bibi !!!!!!!!” teriak Vehasy.
            Seorang ibu yang sudah berumur berlari dengan tergopoh-gopoh menghampiri Vehasy.
            “Ada apa, Non?” tanya Bi Kas.
            “Kok nggak ada yang bukain pintu sih, dibel berkali-kali juga.” Kata Vehasy.
            “Maaf, Non. Tadi Bibi lagi masak jadi nggak denger bunyi bel.” Kata Bi Kas.
            “Iya, tapi sadar diri dong..” kata Vehasy.
            “Maaf, Non.” Kata Bi Kas.
            Vehasy menghembuskan napas dengan perasaan sebal. Dia langsung berjalan meninggalkan Bi Kas untuk menuju kamarnya yang di lantai 2. Dia langsung membanting tasnya. Dia mengancak pinggang. Matanya memutar yang menunjukkan bahwa dia sedang sebal dicampur marah.
            “Nantangin gue buat mabok?? Nggak mikir apa dia. Dasar Mesya!!” kata Vehasy.
            Tiba-tiba ponselnya berdering. Vehasy mengambilnya, lalu menekan tanda hijau dan mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.
            “Ngapain loe nelpon gue?” tanyanya dengan nada menghadrik.
            “Santai aja kali.. gue cuma mau memperjelas aja. Loe bisa kan nerima tantangan gue??” kata Mesya dengan nada mengejek dari seberang sana.
            Emosi Vehasy langsung naik. Dia memang paling nggak suka kalau dikalahin, apalagi oleh Mesya. Musuh bebuyutannya dari SD kelas 3.
            “Ok! Gue terima tantangan loe. Tapi inget janji loe ya, jangan pernah gangguin gue lagi.” kata Vehasy.
            “Tergantung.” kata Mesya.
            “Dimana tempatnya?” tanya Vehasy.
            “Di tempat yang biasa buat nge-track bocah-bocah. Loe tau kan?” kata Mesya dengan nada mengejek yang sama.
            “Tau lah, gue kan anak situ juga. Nggak inget loe ya?!” kata Vehasy dengan nada tinggi.
            Kali aja loe lupa, hihihihihi.. Udah ah, tutup ya..” kata Mesya. Tanpa babibu lagi, telpon langsung ditutup.
            “Gila!! ngasih info kok nggak jelas. Jamnya aja nggak dikasih tau.” kata Vehasy. Tapi dia mengerti, pasti jam sepuluh malam. Mana ada orang mau mabok pagi-pagi.
            Vehasy langsung mandi dan menyiapkan diri. Pakaian favoritnya yang berupa celana jins dan kaos oblong terpasang di tubuhnya lima belas menit kemudian. Beberapa saat sebelum keluar dari kamarnya, Vehasy terpaku pada sebuah foto yang terfigura dengan baik di meja belajarnya. Vehasy mendekatinya, lau meraih foto tersebut. Di foto itu terdapat seorang perempuan yang cantik dengan jilbab ungunya yang lembut dan tertiup angin sepoi-sepoi, sehingga bertebangan denga anggunnya.
            “Semoga hidup loe tenang disana, Kak. Maaf gue belum bisa memenuhi permintaan loe untuk memakai jilbab kayak loe.” kata Vehasy. Dia meletakkan kembali foto tersebut di atas meja.
            Vehasy langsung pergi ke tempat pertemuan tanpa ijin kesiapapun dengan motor balapnya. Kalaupun mau ijin, harus ijin kesiapa. Tak ada orang tua di rumah. Semuanya sibuk kerja tanpa memperdulikan dirinya. Ijin ke Bi Kas pun percuma. Tak ada gunanya.
                                               
            Jam ditangan Vehasy sudah menunjukkan pukul sepuluh. Mesya dan gengnya belum tiba.
            “Hasy, loe nggak ikut nge-track?” tanya seorang temannya.
            “Nggak dulu deh, gue ada perlu ama orang. Loe nge-track aja ama yang lain.” Kata Vehasy.
            “Ok.” Kata temannya tersebut.
Beberapa saat setelah teman Vehasy pergi, datanglah lima mobil BMW dengan berbarengan. Kalau orang lain lihat, pasti ada yang ngira bakal ada pawai mobil. Vehasy yang melihatnya cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Kebiasaan telat loe ya?” sindir Vehasy sambil menyilangkan tangan didada.
“Pahlawan kan suka dateng kesiangan.” Kata Mesya dengan santai. Teman-temannya yang jumlahnya hampir menyentuh jumlah seratus, kali ini hanya dibawa sekitar dua puluh orang. Seratus itu yang terdaftar sebagai gengnya. Kalau yang ngantri jadi budaknya, bejibun.
“Cuma bawa dikit nie ye..” kata Vehasy.
“Kurang banyak toh.. bisa gue panggil.” Kata Mesya.
“Mana tangan kanan loe, si Ringgo Agustian?” tanya Vehasy.
“Ada dong, tuh dipaling belakang. “ kata Mesya dengan sedikit hendikkan kepalanya ke belakang.
Ringgo yang dimaksud langsung keluar dari barisan. Senyum yang bisa membius hati cewek di keluarkannya. Tapi Vehasy tidak peduli.
“Mana minumannya?” tanya Vehasy.
“Eits, jangan langsung minum dong. Kita buat peraturannya. Siapa yang minum paling banyak, dia yang menang. Dan hadiahnya, yang menang bakal berkuasa di SMA Adriokasy. Gimana? Menarik kan?” kata Mesya.
“Ok!” kata Vehasy.
Ringgo dan teman-teman Mesya yang lain menyiapkan minuman kerasnya. Vehasy dan Mesya berdiri berhadapan di sebuah meja. Berbotol-botol minuman sudah siap di depan mereka. Dengan hitungan dari Ringgo, mereka berdua minum minuma tersebut langsung dari botolnya. Ketika Vehasy fokus minum, Mesya memberi kode kepada Ringgo. Ringgo langsung paham. Dia menyiapkan kamera ponselnya dan membidik gambar Vehasy yang sedang minum. Selesai mengambil gambar, Ringgo memberi kode pada Mesya.
“Masih kuat?” tanya Mesya dengan senyum khasnya.
“Kenapa loe nanya kayak gitu, nggak kuat ya...??” tanya Vehasy dengan nada mengejek. Bau minuman keras begitu kental tercium dari mulutnya. Padahal belum ada satu botol yang dia minum.
Mesya menyeringai.
Tiba-tiba seseorang menyeruak ke tengah-tengah. Raut wajahnya begitu khawatir. Kontan semuanya memperhatikan orang itu.
“Aaa..Adaa.. ada polisi.” katanya sambil ngos-ngosan.
“Hah?!” semuanya panik. Mesya melirik Ringgo. Ringgo menghendikkan bahunya.
“Kabur!” kata Mesya.
Semua teman-teman Mesya langsung mobil dan meninggalkan Vehasy begitu saja. Vehasy yang mendengar berita itu, kontan panik juga. Dia berusaha lari, tapi kepalanya begitu pusing.  Dia berlari meninggalkan tempat pertemuan. Tanpa sadar, dua orang polisi mengejar dibelakangnya. Motor balapnya dia tinggal begitu saja di tempat tadi. Vehasy begitu ketakutan. Dia memang anak bandel, tapi tidak pernah berurusan dengan polisi.
Vehasy berlari memasuki kawasan perumahan. Untungnya perumahan itu tidak begitu rapi dan masih banyak unsur pedesaannya. Polisi yang mengejar dibelakangnya agak kesulitan mengejarnya. Vehasy merasa sedikit aman, tapi staminanya sudah berkurang banyak. Dia tidak mungkin terus berlari. Dia harus bersembunyi. Tapi disekitar tempat dia berlari tidak ada tempat yang aman. Dan sialnya, dia malah memasuki tempat jemuran suatu rumah. Dia bingung, dan telinganya mendengar derap lari yang semakin kencang. Vehasy panik. Tiba-tiba di otaknya muncul sebuah ide. Dia mengambil baju gamis yang kebetulan masih tergantung di jemuran tersebut, lalu memakainya. Dia juga mengambil sebuah jilbab langsung yang lebar dan langsung memakainya. Dia berkumur dengan air keran yang kebetulan juga ada di tempat itu. Vehasy merapikan sedikit dandanannya, lalu menarik nafas panjang dan melatih senyuman yang agak berbeda dari biasanya. Karena biasanya dia menyeringai.
Dua orang polisi itu datang menghampirinya.
“Selamat malam, Bu. Kami dari kepolisian. Adakah seorang remaja yang berlari kearah sini?” tanya polisi yang badannya sedikit besar.
“Remaja??Aduh..  maaf sekali saya tidak melihatnya. Saya baru saja keluar dari rumah karena lupa mengambil jemuran.” Kata Vehasy dengan nada yang sering dipakai oleh Bi Kas. Tangannya mengambil pakaian-pakaian yang masih bergelantungan.
“Owh, kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih sebelumnya.” Kata polisi tersebut. Vehasy
Sepergian polisi tersebut, Vehasy menghela nafas lega. Dia tak menyangka bahwa dia akan lolos dari polisi-polisi tersebut. Dia melepas gamis dan jilbabnya dan meletakkannya sesuai dengan tempat sebelum dia ambil tadi. Lalu dia berjalan pulang, tanpa memperdulikan motor dan tasnya y6ang dia tinggal di tempat nge-track tadi..
...
Seekor kupu-kupu menyadarkannya. Dia tersadar, lalu tersenyum dan membiarkan kupu-kupu tersebut terbang. Dia menghela nafas. Hasna ingat, semenjak itu, dia merubah kebiasaaanya. Dia mulai memakai jilbab dan menjaga akhlaknya, yang biasanya selalu seenaknya sendiri, dan dia merubah nama panggilanya, dari Vehasy menjadi Hasna. Karena nama Vehasy hanya mengingatkan dia pada masa lalunya. Dia mulai rajin mengikuti kegiatan-kegiatan Rohis di sekolah. Walaupun dia juga aktif di kegiatan eskul lainnya.
“Aku mungkin bukan orang yang baik. Tapi yang dapat aku  pastikan, aku tidak akan melepas jilbab ini.” kata Hasna dengan sepenuh hati sambil memandangi jilbab yang dia pakai.
                                                           
Setelah bertemu dengan Hasna, Ringgo pergi menemui Mesya.
“Gimana? Berhasil?” tanya Mesya dengan salah satu alisnya naik.
“Bener kata loe, Mesy. Dia udah berubah.” Kata Ringgo. Mesya cuma bisa menertawai Ringgo.